What Inside My Mind #002
Sebelum lanjut cerita, saya mau cerita tentang sudut pandang saya tentang kuliah lagi. Kuliah bagi saya pribadi bukan sekedar “pendidikan lanjutan setelah SMA”. Logikanya kalau cuman pendidikan lanjutan di bagian technology, duit-nya eman-eman dan lebih baik dipake untuk beli course di Udemy atau Coursera.
Karena sejati-nya itu kuliah TIDAK MENJAMIN (tetapi perguruan tinggi berusaha membantu dengan memberikan peluang) pekerjaan yang lebih baik dari yang tidak kuliah, beda-nya cakupan kerjaan dan gaji bulanan yang BERPOTENSI LEBIH BESAR daripada yang teman-teman yang tidak kuliah. Makanya asumsi orang dulu yang bilang, kuliah biar sukses tidak sepenuhnya salah, tetapi banyak faktor yang mempengaruhi.
Asumsi masyarakat cukurukuk yang bilang antara tidak kuliah dan kuliah sama-sama di gaji UMR juga tidak sepenuhnya salah. Faktanya di lapangan memang begitu, tetapi di lapangan juga banyak yang tidak kuliah malah lebih sukses daripada teman-teman yang kuliah (dalam konteks “pegawai swasta”).
Disini kita sadar kalo masalah kuliah dan tidak kuliah ini cuman masalah mindset. Jadi kalo orang-nya kuliah ataupun tidak, itu hanya masalah mentallity aja. Kalau orang-nya punya growth mindset sih tidak apa-apa cuman kalau tidak ya memang ga ada beda-nya tetap nyembah “tir petir” “depa depo”.
OK, back to the main story. Salah satu kesempatan yang menurut saya exclusive dari orang yang kuliah itu adalah relasi. Semakin bagus Perguruan Tinggi-nya, semakin besar kemungkinan orang bertemu dengan relasi yang bagus juga. Job fair, acara komunitas di kampus, “khotbah” alumni, dan beberapa kegiatan kampus lain memberikan exposure kita yang cungpret dan fresh from the oven ini. Singkatnya bisa dibilang nyari “orang dalam”, tetapi dasar-nya juga tetap sadar diri.
Dapat “orang dalam” ini, juga ada consideration-nya. Kalau kita ga punya kualitas apa-apa, “orang dalam”-nya juga malas bawa kita. Soalnya yang ada malah bikin malu soalnya “kerjaan yang harusnya bisa selesai cepat malah jadi makin lama karena kita-nya jadi blocker”. Karena apa? Karena salah bawa orang. Makanya “orang dalam” cenderung bawa orang yang talented dan capable. Misalkan kamu butuh ART (Asisten Rumah Tangga) dan ada kenalan beberapa ART. Jelas kamu butuh ART yang kompeten dong, bukan ART yang ngepel dulu baru nyapu.
Jadi, ya selama kuliah jangan kira kalo selama kamu lulus kuliah, dapat IPK tinggi, bakalan aman ke depannya. Tidak seperti itu, malah kalau boleh bilang saya skeptis dengan teman-teman yang IPK-nya tinggi (personal opinion). Ada 2 hal yang saya skeptis buat IPK tinggi. Antara nunjukin orang yang beneran pintar, cepat untuk belajar sesuatu atau nunjukin orang yang cuman nurut sama perkataan dosen doang.
Di dunia kerja (terutama bidang teknologi), perkembangan teknologi sangat pesat. Ilmu yang didapat di Perguruan Tinggi cuman ngajarin dasar-nya saja. Pondasi dasar untuk besok kalo belajar yang lebih advanced, setidaknya dasarnya tau. Teori “Jaringan Komputer” tentang routing dan subnetting dengan menghitung CIDR, harapan-nya kita mengerti dasar teori-nya, jadi kalau besok ada keperluan belajar sesuatu yang mengenai ini, kita bisa lebih cepat mengerti.
Contoh saja konsep OOP (Object Oriented Programming), konsep dasar polymorphism, encapsulation, inheritance, et cetera. Programming language yang dipakai di perusahaan yang cenderung maju secara teknologi menggunakan konsep yang sama, HANYA SAJA bahasa yang digunakan kemungkinan berbeda. Akan tetapi konsep-konsep seperti inheritance, encapsulation, dan polymorphism itu tetap saja dipakai.
Tapi tetap perlu dicatat bahwa beberapa perusahaan yang besar dan sangat berkembang secara teknologi juga menggunakan bahasa yang sangat berbeda secara konsep, syntax, idiomatic, dan lain-lain seperti Go, Rust, Lua, Haskell, Erlang, atau Scala.
Sekian dulu untuk “What Inside My Mind — Part 002”. Sudah cukup banyak mengoceh tentang apa yang saya pikirkan tentang perjalanan spiritual selama berkuliah hingga ke quarter-life crisis ini. Sampai jumpa di “What Inside My Mind — Part 003”. Adios amigos~